Arloji Ali menunjukkan pukul sebelas
malam, tapi ruas jalan itu masih saja ramai. Angkringan sederhana di tepi jalan
itu jelas menjadi penyebab banyaknya sepeda motor berjejeran. Muda-mudi yang
asyik bercakap-cakap, Bapak pemilik angkringan yang sibuk melayani pembelinya,
serta gelas-gelas kaca yang bersentuhan dengan tatakannya menambah
hiruk-pikuknya suasana.
“Eh, Nak Ali. Sudah lama sekali tak jumpa.
Mau pesan apa?”
“Kopi saja, Pak.” Jawab Ali, lalu duduk di
selembar tikar yang telah disediakan, sedikit berjauhan dengan ricuhnya
muda-mudi itu.
Tak sampai lima menit, kopi hangat telah
disuguhkan di depannya. Ia menyesapnya perlahan, sembari menikmati suasana
malam di kota kelahirannya, sejak tiga tahun bekerja di kota orang. Setidaknya
ini menghilangkan penatnya, walau belum sepenuhnya. Suasana ini melemparkan
ingatan Ali ke masa lampau, sekitar sepuluh tahun yang lalu.
***
Ia bukan anak keluarga berada, bukan pula
seorang kaya-raya. Hidupnya sejak kecil hanya disokong dari usaha angkringan
malam Ayahnya dan keterampilan menjahit Ibunya. Tikar-tikar di angkringan Ayahnya,
Ibunya sendiri yang menjahit. Membantu Ayahnya menyuguhkan makanan ringan dan menjahit tikar dengan
Ibunya untuk dijual ke tetangga, menjadi favorit Ali semasa kecil.
“Ali si anak angkringan! Sukanya keluar
waktu malam!”
“Laki-laki hello kitty! Senang menjahit! Hahaha.”
Ejekan dari ‘mereka yang serba
berkecukupan’ seringkali membuatnya geram, malu. Pernah suatu kali Ayahnya
kesusahan karena Ibunya yang sakit, dan angkringan terbengkalai karena tak ada
yang membantunya. Ali? Mengurung diri di kamar sepanjang malam. Malu,
kalau-kalau seorang teman memergokinya melayani pembeli. Tapi tak sampai dua
hari ia kembali membantu Ayah-Ibunya. Memangnya mau hidup dari mana kalau bukan
ini?
“Dewasa nanti, mau jadi apa kamu, Nak?”
“Pengusaha, Yah.”
Ayahnya terkekeh mendengar jawaban anak
semata wayangnya. “Modal dan ilmu berwirausaha dari mana?”
“Tentu saja dari Ayah dan Ibu!”
“Mengapa kau memilih pengusaha? Untuk
melanjutkan sekolahmu saja belum pasti.”
“Karena aku tidak mau hanya berwirausaha
di angkringan seperti Ayah,” Beliau hanya tersenyum simpul mendengarkan Ali.
Semenjak itu Ali tak lagi menghiraukan
ejekan ‘mereka yang serba berkecukupan’. Sebaliknya, ia berkutat dengan buku-buku
pelajaran yang mulai menguning dan rapuh karena panas matahari dan air hujan. Namun
semuanya terbayar sudah. Menjadi pengusaha di kota tak lagi menjadi
angan-angan. Malahan kini ia mendengar kabar bahwa mereka yang dulu
mengejeknya, bingung mencari pekerjaan untuk menyokong hidup.
***
Gelas kopi kini kosong sudah. Tapi
hangatnya kopi masih terasa di tenggorokan Ali. Sehangat niatnya untuk
mengunjungi kedua orang tuanya. Tak sabar rasanya, pikirnya.
Natasha Astria Bella
Kediri, 28 Agustus 2014
Kediri, 28 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment